Banyak orang beranggapan bahwa menulis cerita, puisi, atau karya sastra yang lain tidak bermanfaat sedikit pun. Mungkin mereka mengira dunia sastra hanyalah dunia yang berasal dari imajinasi sang pengarang. Pendek kata, orang tersebut akan dianggap kurang dapat mengisi waktunya dengan baik. Karena menulis karya sastra dinilai sebagai kegiatan yang sia-sia, maka tidak heran jika kita membaca puisi atau cerpen juga akan dituduh kurang pandai menggunakan waktu.
Padahal jika kita bersedia membaca sebuah karya sastra dengan hati (meminjam semboyan Andi F. Noya), niscaya kita akan dapat menemukan banyak hikmah. Mengapa demikian? Sebab seorang pengarang tidak pernah menuliskan karyanya tanpa melalui proses pemikiran, puisi asal jadi (biasa disebut puisi kilat) sekali pun. Setiap pengarang memiliki amanat dalam karyanya. Ia tidak sekadar mencoretkan rangkaian kata-kata di atas secarik kertas, tetapi ia juga mempunyai tujuan supaya para pembaca memahami maksud tulisannya.
Marilah kita membaca penggalan cerpen "Mati Salah Pati" karya Gde Aryantha Soethama berikut ini.
Lelaki itu menarik kuat-kuat laci almari sehingga jasad Pekak Landuh tampak terbujur utuh. Kemejanya kotor, celananya sobek tergerus aspal. Lelaki karyawan PLN itu, yang istrinya gandrung pada kehidupan modern karena punya banyak uang, memeluk kaki ayahnya yang kaku dan dingin. Baru kali ini ia menyadari kalau ia kurang memperhatikan kehidupan ayahnya. Ia terlampau sibuk mengejar karier, mengisi keinginan istri dan anak-anak, dan melayani ambisi-ambisi pribadinya. Bagaimana mungkin kini ia minta maaf. Ia hanya bisa menangis terus. Dadanya terasa pecah. (diambil dari kumpulan cerpen pilihan Kompas berjudul Lampor).
Hanya dengan membaca penggalan cerpen di atas kita dapat menemukan amanat pengarang dengan mudah. Jangan sampai kita lupa berbakti kepada orang tua karena mengejar ambisi dan terlena oleh harta yang melimpah. Jika semuanya terlambat, hanya penyesalan yang kita dapatkan.
Atau puisi singkat karya Amir Hamzah berikut ini.
Karena kasih-Mu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu
Bagaimana dengan amanat puisi di atas? Allah selalu menyediakan waktu khusus supaya kita dapat menemui-Nya. Bayangkan karena kasihnya Allah terhadap kita, sampai-sampai Dia menyediakan waktu khusus hanya untuk kita. Hal ini menggambarkan bahwa bertemu dan mencurahkan isi hati kepada Allah jauh lebih mudah dibanding bertemu wakil rakyat apalagi presiden. Indah sekali, bukan?
Sekali lagi, mengapa penulis karya sastra sering dinilai melakukan pekerjaan yang kurang bermanfaat? Jawabnya karena masih banyak orang yang menganggap para sastrawan tidak lebih dari tukang melamun dan berangan-angan.
Semua tulisan yang memuat dan mengajak pembaca kepada kebaikan adalah hal yang bermanfaat sekaligus menyenangkan. Pembaca memperoleh pengetahuan dan lebih mudah memahami amanat suatu karya dengan pikiran santai. Membaca karya sastra juga dapat melatih kelembutan, kepekaan hati, dan mengasah kreativitas berkarya.
Jadi kata siapa karya sastra itu tidak bermanfaat?
Berikut ini adalah madah dari seorang pengarang tidak dikenal.
Berlakulah seperti mawar yang berduri, menebar harum namun tetap menjaga diri.
Masih ragu? Mungkin Anda harus melatih diri untuk membaca dengan hati.
Rabu, 23 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar