Sabtu, 10 Mei 2008

Pesan Singkat dari Temanku

Semalam saya mendapat sms dari temanku di Surabaya. Ia memintaku menginap di rumahnya.
Aku kangen berat, begitu tulisnya.
Sejenak saya merenung. Berpikir, begitu besarkah kerinduannya padaku sehingga ia memintaku untuk segera menuju kota pahlawan yang juga kota kelahiranku itu?
Kami berteman dekat sejak masih duduk di bangku kuliah. Saat ia mulai komitmen berbusana muslim, sedangkan saya masih saja berbusana asal tertutup dan tidak ketat (tetapi belum berjilbab), hal itu tidak sedikit pun merenggangkan kedekatan kami.
Soal sifat jelas berlawanan. Ia dapat bersikap tenang dalam kemarahannya. Ia lebih memilih untuk diam dan mengalah jika ada yang bersikap tidak baik kepadanya. Berbeda denganku yang sulit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Apalagi kalau ada orang yang menyakiti hatiku, rasanya aku ingin segera menerkamnya (kalau bisa, tetapi saya tidak mau menjadi harimau, seperti harimau, atau pun dianggap harimau), tetapi biasanya saya akan menjawabnya dengan nada datar kadang-kadang tanpa menoleh.
Dia menerimaku apa adanya. Pernah suatu hari ia menyampaikan pembicaraannya dengan seorang adik tingkat.
Dia : Eh, kemarin adik kita menanyakan kamu.
Saya: Aku?
Dia : Iya, katanya si Mbak kok orangnya serius.
Saya: Lalu apa jawabanmu?
Dia : Ya, aku katakan tak kenal maka tak sayang. Coba sekali-sekali kamu ajak si Mbak bicara.
Dia enak kok kalau diajak bicara.
Saya : Ah, sebenarnya dia mau omong kenapa aku selalu pasang tampang masam.

Itulah percakapan kami yang sudah lama berlalu. Selepas lulus kuliah, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ternyata kami berdua sama-sama pengembara. Bedanya, aku hanya sekitar Pulau Jawa sedangkan dia melalang buana.
Saat dia menghubungiku lewat sms, pastilah ia sedang berkumpul dengan sanak saudara. Heran juga bagaimana dia bisa rindu padaku.
Tetapi kalau kupikir-pikir, bukankah selama ini aku memiliki beberapa teman dekat justru karena sifatku yang unik? Teman-teman dekat yang masih tetap mencariku bahkan ada rela berpanas ria demi menemukan jejakku yang pernah menghilang dari mereka. Aku teringat bukankah ada di antara mereka yang mengatakan suka bersahabat denganku justru karena sifatku yang tidak pas untuk seorang wanita? Aku samasekali bukan wanita yang ramah apalagi suka bercanda, lebih-lebih dalam forum atau situasi serius. Tetapi entahlah, mereka, sahabat-sahabatku itu begitu menerimaku apa adanya.
Sungguh aku bersyukur kepada Allah Yang Mahaadil.

====================================


Catatan kecil yang terpotong saat aku masih bekerja di luar kota Surabaya dan sekarang telah kembali mengabdikan diri di kota kelahiranku.


Senin, 05 Mei 2008

Nasihat Adik Ibuku

Cara bicara beliau tegas dan terdapat penekanan pada setiap kata. Jika tidak terbiasa, pasti mengira beliau sedang marah dan bisa-bisa merasa sakit hati. Maklumlah beliau seorang hakim
yang terbiasa memutuskan perkara di pengadilan.
Beliau adalah bibiku, adik almarhum ibuku. Sepeninggal kedua orang tuaku, beliau adalah pengganti orang tuaku. Dari beliau saya banyak belajar tentang banyak hal dalam kehidupan ini.
Nasihat yang paling kuingat adalah supaya saya selalu bersikap rendah hati. Tetap percaya diri namun menjauhkan diri dari merasa paling pandai, paling bisa, dan paling-paling lainnya yang bertujuan memamerkan kelebihan diri. "Mbak, di hadapan Allah kita ini tidak ada artinya. Jadi untuk apa kita sombong?"begitu nasihat beliau.
Setiap kali saya melihat seseorang yang menyombongkan diri hanya karena merasa lebih pandai dalam suatu bidang atau memiliki kedudukan maupun gelar yang lebih tinggi dibanding lawan bicara, saya terheran-heran. Saya tidak habis pikir apakah orang itu belum menyadari bahwa di atas langit ada langit? Bahwa sombong itu pakaian kebesaran Allah?